REDBASE Art Space: My Culture on Cotton – The Contemporary Art of Batik
 
Group Exhibition
My Culture on Cotton – The Contemporary Art of Batik

AT A GLANCE
January 17 - March 23, 2024
Redbase Foundation Indonesia

ARTISTS
ATTACHMENT

Extended until March 23th, 2024

Dengan bangga kami mempersembahkan pameran batik pertama di Redbase Foundation Yogyakarta yang bertema My Culture on Cotton – The Contemporary Art of Batik. Pameran ini merupakan eksibisi tekstil yang menayangakan karya seni batik kontemporer dari empat perupa Indonesia: Fikky Ananda, Osyadha Ramadhana, Robiatul Asqiah dan Robert x Olga. Bersama, mereka memamerkan beragam karya istimewa mengunakan unsur tradisi dan budaya Nusantara yang menyorot legenda dan cerita dongeng daerah, kehidupan sekeliling dan alam sekitar. Sejak dahulu kala, orang Indonesia menenun bahan pakainnya dengan alat tenun gedogan, alat tersebut terbuat dari kayu. Tekstil biasanya terbuat dari bahan serat, serat alami ataupun buatan. Serat alami berasal dari tanaman, binatang, ataupun mineral. Tekstil dengan serat alam ini menjadi salah satu bahan dasar dalam pembuatan batik. Hanya tekstil berbahan serat alam seperti serat nanas, bambu, kapas, dan bulu domba yang dapat digunakan sebagai bahan utama membatik.

Batik adalah sebuah warisan budaya adiluhung Nusantara yang diturunkan secara turun temurun dari leluhur bangsa. Ditemukan kegiatan batik tertua yang berasal dari Raja yang bernama Wengker sebelum abad ke 7. Keberadaannya berkaitan dengan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa hingga masa Mataram Islam, yang kemudian berlanjut ke Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Batik Jawa khususnya batik Keraton memiliki makna penuh dengan perlambangan dan simbol-simbol filosofis. Berkaitan erat dengan falsafah kebudayaan Jawa membuat batik Jawa sering dianggap sebagai batik Keraton yang memiliki kandungan rohaniah. Kegiatan membatik bagi kalangan keraton adalah sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kain batik berasal dari kata ‘ambatik’ yang berarti kain dengan banyak titik. Namun, sebuah kain bermotif dapat dikatakan batik apabila melalui proses ‘nyanting’ dengan malam atau lilin. Kegiatan membatik hanya terbatas di wilayah keraton saja untuk membuat pakaian Raja, para pembesar, dan keluarga pemerintah. Namun banyak pembesar yang tinggal berada diluar keraton, membawa kesenian batik keluar keraton dan meluas, hingga menjadi kegiatan waktu luang bagi ibu rumah tangga.

Batik sangat melekat pada perempuan. Perempuan diyakini memiliki sifat tekun, teliti, sabar dan halus sehingga sangat identik dalam pembuatan batik. Proses regenerasi batik biasanya diturunkan dari seorang Ibu ke anak perempuan atau menantu perempuan. Perempuan dipercaya dapat menjadi pengelola perusahaan yang juga berperan penting sebagai ibu rumah tangga. Pada awal abad 20-an terdapat sekelompok saudagar batik di Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah yang digerakkan oleh perempuan sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan. Pedagang batik tersebut biasa disebut dengan istilah ‘Mbok Mase’ atau Nyah Nganten. Kemunculan Mbok Mase dianggap sebagai bentuk perlawanan atas tindakan para priyayi keraton yang memiliki kebiasaan suka berfoya-foya, haus kekuasaan, gila hormat dan poligami. Peran Mbok Mase sebagai pemegang roda perdagangan batik ternyata mampu mengubah stigma perempuan Jawa yang biasanya bergelut pada ruang domestik. Perdagangan batik di pasar sebagian besar dikelola oleh Mbok Mase; mereka melakukan jual-beli bahan dasar batik dan kain batik. Hingga pada tahun 1930, kota Surakarta menjadi pusat batik terbesar dengan 230 buah industri batik yang sebagian besar berada di Laweyan. Kampung Laweyan dibawah kepemimpinan Mbok Mase mampu memproduksi 60.400 potong kain batik setiap tahunnya. Peran Mbok Mase dalam memajukan perempuan tidak hanya sebatas dalam bisnis saja akan tetapi mereka juga turut andil pada masa pertumbuhan pergerakan nasional. Mereka mendirikan sebuah koperasi dengan nama Persatuan Perusahaan Batik Bumiputera Surakarta (PPBBS) pada tahun 1935. Mbok Mase dalam perkembangan batik di Laweyan mengajarkan hidup penuh kerja keras hingga dapat membuat suatu perubahan pada kaum perempuan. Kerja keras mereka tampak pada pencapaian status sosial dimana kedudukannya lebih tinggi daripada abdi dalem Keraton Surakarta. Mbok Mase kemudian dikenal sebagai kelompok perempuan Laweyan yang terampil dalam mengelola usaha, sejak dari proses membatik, memasarkan, mengelola keuangan hingga mengembangkan usaha.

Tak hanya kisah sejarah Mbok Mase sebagai para saudagar batik perempuan dengan hidupnya yang penuh perjuangan hingga mereka mampu membuktikan bahwa seorang perempuan dapat menaikkan derajatnya dan sebuah kain batik dapat membantu dalam pertumbuhan pergerakan nasional. Sosok peran perempuan Madura dalam kehidupan sosial mereka yang tertulis dalam motif batik dan batiknya dikenal sebagai batik Gentongan khas Bangkalan. Keunikan dari Batik Gentongan khas Bangkalan ialah dalam proses pewarnaannya yang menggunakan tradisi leluhur dengan gentong sebagai alat untuk pencelupan warna alam, hingga dapat menghasilkan warna yang unik. Selain itu keunikan dari Batik Gentongan ini tidak hanya pada saat proses pewarnaannya namun juga adanya kegiatan para perempuan Madura saat suaminya pergi melaut. Para pembatik di Bangkalan merupakan sejatinya perempuan Madura. Pasalnya disaat suaminya pergi mencari nafkah dengan melaut para istri ini tidak hanya tinggal diam atau mencari kesenangan dengan cara lain. Mereka mengisi waktu luang dengan kegiatan yang menggambarkan dedikasi mereka kepada suami dan keluarga yaitu salah satunya dengan membatik. Dimana batik-batik yang mereka hasilkan digunakan untuk simpanan yang diperlakukan sebagai emas atau tabungan, atau disimpan untuk diserahkan kepada anak dan cucu sebagai tanda kasih dan cinta ibu. Batik tersebut menjadi salah satu kekayaan dan kebanggaan masyarakat setempat. Para perempuan Madura membuktikan bagaimana Batik dapat menjadi sebuah warisan bernilai untuk kehidupan anak-cucu mereka.

Kisah Perempuan Madura menunjukkan bahwa sebuah batik dapat bernilai tinggi layaknya emas yang dapat digunakan sebagai investasi jangka panjang. Lain hal dengan sebuah kelompok Perempuan di Pangkal Babu, Tanjung Jabung Barat, Jambi melakukan penyelamatan Mangrove menggunakan karya seni batik. Motif yang mereka buat merepresentasikan betapa pentingnya hutan Mangrove bagi masyarakat pesisir dan flora fauna yang menjadikan pohon mangrove sebagai sumber kehidupan. Melalui karya batik mereka, mereka berhasil melakukan penyelamatan Hutan Mangrove yang terancam punah. Dari kisah Mbok Mase mampu membuktikan bahwa sebuah kain batik mampu menyumbang proses pergerakan nasionalisme, Perempuan Madura menjadikan batik sebagai simpanan layaknya tabungan emas untuk anak cucunya, serta para perempuan Pangkal Babu, Jambi membuktikan bahwa batik dapat membantu penyelamatan Hutan Mangrove yang terancam punah.

Motif batik terus berkembang sesuai tempat dan jamannya. Melalui pameran ini, Redbase turut serta dalam pelestarian seni dan budaya batik Indonesia dengan menampilkan karya-karya batik para pemudi bangsa. Motif yang mereka buat pun menceritakan tentang legenda Nusantara hingga kehidupan masa kini yang terjadi di Indonesia. Karya Robiatul Asqiah, seorang pemudi asal Padang yang melalui goresan cantingnya ia menjadikan cerita legenda Rama Shinta dari Kitab Epos Ramayana yang dikemas dalam tarian kecak Bali, yang motifnya menggambarkan bagaimana Bali menjadi sebuah pulau ikonik Indonesia melalui adat istiadatnya. Tak hanya legenda tentang Rama Shinta yang ia gambarkan menjadi motif batik, lambang-lambang Nusantara lainnya seperti burung Garuda (lambang Pancasila), Reog Ponorogo (ikon kota Ponorogo), serta kekayaan flora dan fauna Indonesia. Selain itu, karya Asqiah juga mencoba menceritakan proses regenerasi batik yang ia dapati turun temurun dari ibunya. Karya dari Osyadha Ramadhana membuat kisah dongeng tentang kancil sebagai motif batik dengan gaya doodle art dalam karyanya, menurutnya dongeng kancil selalu melekat pada anak-anak dalam masa pertumbuhannya karena di dalam dongeng tersebut mengajarkan seorang anak kecil untuk dapat bernegosiasi dan mencari solusi. Di salah satu karyanya ia menggunakan pewarna alam untuk menunjukkan bahwa alam selalu bertumbuh dengan anak-anak sebagai generasi bangsa. Serta Karya Fikky Ananda yang berhasil membawanya hingga ke perancis. Dalam karya batiknya ia membuat motif yang menceritakan kisah tentang kehidupan yang terjadi di sekeliling kita, seperti bagaimana depkolektor bekerja bilamana kita berhutang dan juga kisah tentang para koruptor yang memberi dan menerima sebuah amplop demi jabatanya. Karya Robet x Olga dalam pemilihan media tersebut karena kedekatan kain dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu, Robet X Olga juga menggunakan dan memadukan media atau teknik lain dan konsepnya sering kali berasal dari momen-momen menarik yang berasal dari permainan imajinasi.

Batik layak diakui dunia, karena batik dibuat dengan teknik yang memiliki simbol dan budaya yang melekat di Indonesia. Batik sejak 2009 sudah di hargai sebagai karya oral dan kultural identitas national. UNESCO mengakui batik sebagai warisan dunia, masuk ke dalam warisan budaya tak benda ke-3 setelah keris dan wayang. UNESCO menilai bahwa masyarakat Indonesia memaknai batik dari proses kelahiran hingga kematian. Batik menjadi refleksi akan keberagaman budaya di Indonesia melalui motifnya. Kini pakaian batik menjadi budaya, pemerintah pun turut andil akan itu. Bahkan pemerintah turut menyediakan museum khusus ragam batik di Indonesia sebagai ruang edukasi untuk pelestarian batik ke generasi selanjutnya. Inilah yang membuat Redbase turut andil dalam pameran ini, sebuah sarana pelestarian batik generasi ke generasi.

Curated By

Herdina Maya Purwoko


ARTWORKS

INSTALATION VIEW




We pay our respects to the Gundungurra people who are the traditional custodians of the land. We acknowledge Elders past, present and emerging for their immense spiritual connection to place which was never ceded.


COPYRIGHT © 2024 REDBASE | ABN: 21649627636