NEGLECTED ORDINARIES
Objects and situations we come in contact with, elements of daily necessities or practices we are following unconsciously might appear at first as self-evident universal, de-possessed by heavy loads of cultural stigma, yet they reveal with subtle appearances further questions on the quotidian and prosaic where different issues and modes of exploration are at stake.
Benda-benda dan situasi yang dengannya kita berinteraksi, elemen-elemen kebutuhan sehari-hari atau kebiasaan yang kita ikuti secara tidak sadar muncul sebagai sesuatu yang jelas untuk pertama kalinya, dibebani oleh muatan yang berat akan stigma kultural, namun hal-hal tersebut mengungkapkan dengan penampakan-penampakan (bentuk-bentuk) yang amat halus, pertanyaan-pertanyaan lebih jauh yang terjadi tiap hari serta keadaan yang sudah kita anggap biasa-biasa saja– letak isu-isu yang berlainan dan cara-cara dalam mengeksplorasinya pun menjadi taruhan.
In the current trajectory following environmental aesthetics to social, political and more recently relational aesthetics, is the aesthetics of the everyday that has caught the attention for research and debate, expanding its subject matter and scope to objects, events and activities that constitute people's everyday life. This approach has been used in the contemporary art realm starting with the 60s especially through art photography seen in the works of Wolfgang Tillmans, Jeff Walls and more recently Gabriel Orzoco using conceptual staged photography as well as unintentionality in the relation between subject and the object.
Dalam pembahasan ini, mengikuti estetika yang berhubungan dengan lingkungan hingga sosial, politik dan akhir-akhir ini estetika relasional, adalah estetika akan kehidupan sehari-hari atau estetika keseharian yang menarik untuk diteliti dan diperdebatkan, pengembangan subject matter, cakupan hingga ke objek-objeknya, peristiwa dan aktivitas yang ada di kehidupan sehari-hari masyarakat. Pendekatan ini telah digunakan dalam dunia seni kontemporer yang dimulai sejak tahun 60an, khususnya melalui seni fotografi seperti yang nampak pada karya-karya Wolfgang Tillmans, Jeff Walls dan baru-baru ini Gabriel Orzoco menggunakan conceptual staged photography dengan sangat baik, dimana seolah tidak ada kesengajaan di antara subjek dan objek yang terlibat di dalamnya.
The young generation of artists positioned in the Jogja-Bandung axis unintentionally raise up questions of everyday aesthetics through their artistic mediums and concepts, a generation brought up in a context where cultural exchange and openness to global transcultural aesthetics have become assimilated in their artistic practices, yet carefully localizing their works within the socio-cultural context. With such an expansion into investigating the simplicities of daily encounters, how does everyday aesthetics meet with contemporary art forms among the young generation of artists?
Para seniman muda yang berdomisili di Jogjakarta-Bandung menjadi poros yang secara tidak sadar mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar estetika keseharian tersebut melalui medium artistik serta konsep mereka, generasi yang dididik dalam sebuah konteks dimana perubahan kultural dan keterbukaan akan estetika lintas budaya global berasimilasi dalam praktek artistik mereka, namun hal tersebut secara perlahan melokalisir karya-karya mereka dalam konteks sosio-kultural. Dengan pengembangan sedemikian rupa hingga penyelidikan mendalam atas kesederhanaan-kesederhanaan akan perjumpaan sehari-hari itu, bagaimana estetika keseharian dipertemukan dengan bentuk-bentuk seni kontemporer oleh seniman-seniman generasi muda tersebut?
The group exhibition “Neglected Ordinaries” is investigating the common, taken-for-granted day to day realities as practices that through repetition and assimilation have become accepted as norms. It looks into and reveals the day to day elements of ordinaries which have been left unquestioned and overlooked in the abundance of the dominating current issues. Through the aesthetics of familiarity conveying subtle social and cultural critiques made in various media, the exhibition compiles works by young artists living in two localities – both spatial and conceptual – as former students of Yogyakarta and Bandung art schools, to reveal different encountered realities while exploring new mediums.
Pameran bersama yang berjudul “Neglected Ordinaries” ini mencoba untuk mengetahui secara lebih rinci hal-hal yang bersifat biasa yang diakui sebagai “hal-hal biasa” dalam realitas keseharian melalalui pengulangan dan asimilasi dan diterima sebagai norma. Pameran ini menelisik dan mengungkapkan sifat-sifat “biasa” dari elemen-elemen keseharian, yang ditinggalkan begitu saja tanpa dipertanyakan dan terabaikan dalam keberlimpahan isu-isu yang akhir-akhir ini begitu mendominasi. Melalui estetika akan “kebiasaan” (kondisi akarab kita akan sesuatu sehingga kita menganggap sesuatu tersebut biasa-biasa saja) tersebut para seniman dalam pameran ini berusaha menyampaikan kritik sosial dan kultural yang amat halus dan disampaikan memalui media yang beragam.
In the present exhibition artists share the same interest in presenting the common day to day ordinaries by portraying a series of landscapes, artefacts or written statements through the lens of photography, video art and video projections, found object and ceramic installation, sculpture and anamorphic mural drawing. What they share in common except using the prosaic as a medium and as a concept is the play of perspectives that the audience dialogues with, of borrowing artistic eyes to REVEAL the common, the neglected ordinaries.
Dalam pameran ini para seniman menunjukkan ketertarikan yang sama dalam menyajikan hal-hal yang sifatnya 'biasa' dari kehidupan sehari-hari dengan menggambarkan rangkaian lanskap, artefak, atau pernyataan-pernyataan tertulis yang disajikan memalui lensa fotografi, video art dan proyeksi video, benda-benda temuan dan instalasi berbahan dasar keramik, patung, hingga gambar-gambar mural anamorfik (anamorphic mural drawing). Apa yang mereka tunjukkan secara umum –kecuali penggunaan sifat 'biasa' itu sendiri sebagai medium juga sebagai konsep– adalah permainan sudut pandang dimana penonton berdialog dengannya; peminjaman pandangan artistik untuk MENYATAKAN keadaan 'biasa' itu, hal-hal biasa yang terabaikan.
Akiq Aw, Anang Saptoto, Argya Dhyaksa, Faisal Habibi, Hendra Blankon, Muhammad Akbar, Prilla Tania, Yudha Kusuma Putra
We pay our respects to the Gundungurra people who are the traditional custodians of the land. We acknowledge Elders past, present and emerging for their immense spiritual connection to place which was never ceded.